Malam di Ganesha
Langkah kaki berteman gerimis. Ah ... Terlalu berair untuk disebut gerimis. Malam, waktu untuk sejenak melupakan kalkulus dan teman-temannya. Sejenak! Hanya sejenak untuk melakukan 'kesenangan' lainnya.
Dari ujung ke ujung, dari setiap pojokan, beraneka suara itu ada. Tawa, canda, senyum, juga peluh ada di sana. Langkah berteman melodi. Rintik bisikan langit, alunan angklung, drum, gitar, biola, dering musik nge-bit, pantulan bola, teriakan, bahkan gendang dan gamelan bersautan.
Lalu gerakan-gerakan juga ada disana dance moderen ataupun lekukan melambai tarian daerah ada.
Yah! Lebih dari seratus ekstrakulikuler ada disini. Debust, saham, sampai sepak bola amerika ada. Tempat ini miliki jenis kegiatan non akademik terbanyak di negerinya.
"Miniatur indonesia. Ini adalah Indonesia mini." katanya.
Indonesia mini. Karna pemuda pemudi dari penjuru Indonesiaku ada disini. Berkumpul mengais segenggang ilmu dari tempat yang katanya terbaik dibidangnya. Mereka datang membawa kebudayaan sukunya. Lalu, tempat ini menjadi Indonesia mini.
Yah ... Nyatanya hujan! Bukan gerimis dan aku harus merelakan jaket coklatku basah kuyup karna payung ungu tak terbawa. Hujan membuatku teringat perkataan Emakku beberapa hari lalu. "Oh! Nek kono udan teros tho? Neng kene gak enek udan malahan."
"Hmmm .... Apa kabar Demakku? Salam dari kota bermalam dingin yang jadi lebih dingin karna hujan tak henti berjatuhan."
5 Mei 2016
Nahayuka
EmoticonEmoticon